Tuesday 31 December 2013

Oke sob, untuk pos terakhir di tahun ini, saya akan share save page saya :) darr national geographic.co.id tentang kerajaan Majapahit. Siapa orang Indonesia yang tidak tahu Majapahit ? Kerajaan yang besar yang konon kerajaan inilah yang berhasil menyatukan nusantara dalam hal ini Indonesia. Mempunyai kekuatan maritim yang kuat, sistem perairan yang bagus, pertanian dan memiliki pengaruh di Asia Tenggara. Ketika saya baca TribunNews.com tentang 6 pernyataan ilmuwan paling menggetarkan selama tahun ini, ada pernyataan dari Hasan Djafar yang menyatakan nusantara bukan wilayah dari Majapahit. Saya lalu teringat tentang salah satu terbitan national geographic Indonesia September 2012, dengan judul Metropolitan yang Hilang. Ngomong - ngomong tentang Hasan Djafar, beliau adalah Guru Besar UI bidang arkeologi. berikut cuplikan pernyataannya tentang Majapahit. 
Hasan Djafar : Nusantara bukan wilayah MajapahitDiyakini banyak orang, Majapahit punya wilayah Nusantara yang teritorinya seperti Republik Indonesia. Namun, Hasan Djafar, seorang ahli arkeologi, epigrafi, dan sejarah kuno, mengatakan, "Itu omong kosong!"”Sayang sekali banyak ahli sejarah menafsirkan bahwa Nusantara itulah wilayah Majapahit!” serunya.Menurutnya, makna ”nusa” adalah ”pulau-pulau atau daerah”, sedangkan ”antara” adalah ”yang lain”. Jadi, Nusantara pada masa Majapahit diartikan sebagai ”daerah-daerah yang lain” karena kenyataannya memang di luar wilayah Majapahit.

Ada juga fakta mencengangkan yang diungkap disini tentang Mahapatih Gajah Mada yang selama ini kita kenal. 
Ok, untuk lebih lengkapnya akan saya langsung share disini, ada 12 bagian sebenarnya dan akan saya padatkan menjadi 2 pos, jadi selamat membaca.

Siapkah kita menerima kemegahan Majapahit kembali?

OLEH MAHANDIS Y.THAMRIN (NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA)
FOTO OLEH DWI OBLO
CAHAYA MATAHARI PAGI NAN CERAH ITU MEMANTUL DI WAJAH YUSMAINI Eriawati. Dia tampak semringah berdiri di tepi kotak ekskavasi, berkemeja kotak-kotak biru lengan panjang. Scarf mini bermotif bunga melilit di lehernya. Perempuan ramah ini mengajak saya berjalan menembus semak dan pepohonan rindang meninggalkan timnya. Kami berjalan menuju deretan ­linggan, gubuk beratapterpal tempat batu bata tradisional dicetak dan dibakar. Para pembuat batu bata itu telah meninggalkan ceruk-ceruk tanah hasil galian yang di dalamnya berserak hamparan batu bata kuno, pecahan tembikar dan keramik.

Eriawati lalu memunguti pecahan keramik seladon hijau mengilat asal China abad ke-14. “Di sinilah kami memperkirakan permukiman golongan atas Majapahit,” ungkapnya sambil berjongkok di ceruk penuh batu bata kuno, “karena keramik-keramiknya berkualitas bagus.”

Beberapa langkah kemudian dia menemukan lagi sebuah pecahan tembikar, sebuah jambang­an besar dengan ragam hias nan raya, juga sisa-sisa unsur rumah zaman Majapahit lainnya. “Nah ini ukel besar!” seru Eriawati sambil membungkuk. “Ini salah satu bukti bahwa di sini pernah berdiri bangunan-bangunan besar yang menggunakan genting.”

Eriawati adalah ahli arkeologi dari Pusat Arkeologi Nasional. Selama 2007-2012, dia dan timnya meneliti struktur bangunan tinggalan Kota Majapahit di Desa Sentonorejo, Trowulan, sekitar sepuluh kilometer dari Mojokerto, Jawa Timur. Selain itu, timnya juga menyurvei permukiman kuno di tepian kanal Majapahit.

Dia mengatakan, di kawasan Trowulan, ahli arkeologi harus berpacu dengan perusakan lahan yang digarap pemilik kebun atau pembuat bata. Apabila terlambat, data arkeologi kemegahan Majapahit itu akan rusak, bahkan lenyap. “Beberapa tahun lalu kami melakukan ekskavasi di sekitar sini,” kata Eriawati seraya menunjuk salah satu ceruk yang meluas. “Di samping persis ayunan cangkul pembuat batu bata yang mengikis lapis demi lapis di tanah yang kaya artefak zaman Majapahit itu.”

Kami lalu beranjak menyusuri pekarangan warga menuju lokasi ekskavasi. Sebidang tanah di bekas rumah kepala desa setempat itu kini menjadi lokasi penelitian mereka yang disewa sekitar dua minggu. Sambil berjalan, Eriawati berkata bahwa saat ini timnya tidak bisa melanjutkan penelitian di lokasi yang sama seperti tahun lalu. Saya bertanya kenapa dan mendapatkan jawaban mengejutkan: karena tepat di atas temuan struktur tembok kuno tahun lalu itu, kini telah menjadi kebun pepaya berbuah ranum!

Eriawati memantau struktur permukiman dan lantai kuno yang tengah digali secara hati-hati oleh para ahli arkeologi. Seperti kota-kota modern, di Kota Majapahit juga terjadi pemakaian ulang yang tumpang tindih pada struktur permukimannya. Eriawati menunjukkan dinding-dinding itu saling terobos sehingga sulit membedakan apakah lapisan dinding itu digunakan semasa atau pada periode sebelumnya. Namun, teka-teki belumlah berakhir. Di tepian kotak penggalian itu dia berkata, “Sayangnya, sebagian besar susunan batu batanya sudah amburadul akibat pencarian emas besar-besaran pada 1960-1970-an.”

Teraduknya lapisan budaya dan hancurnya struktur bangunan kuno—yang tentu menyulitkan kerja ahli arkeologi—terus berlanjut dengan maraknya pembuatan growol atau semen bata kuno pada 1980-an. Bahkan, sampai hari ini penduduk masih menggunakan “sumber daya yang melimpah” itu untuk membangun rumah dan pagar-pagar desa.
Beberapa tahun terakhir, Eriawati dan timnya telah berhasil menampakkan  unsur permukiman kuno di Sentonorejo.

Hasilnya, kawasan dengan sebaran temuan seperti struktur dinding bersaluran air, hamparan lantai terakota persegi empat dan enam, umpak batu berhias tumpal, dan sisa sumur jobong. Eriawati menduga, terdapat dua lokasi dengan fungsi berbeda menurut banyaknya ragam temuan genting dan peralatan sehari-hari. Di sisi barat “ada bangunan khusus yang bukan untuk kepentingan sehari-hari,” ungkap Eriawati.

“Tetapi, sisi timur itu daerah yang ditempati harian karena temuan keramik dan tembikarnya bervariasi, kebanyakan barang-barang harian, seperti pecahan tempayan, pasu, pinggan, kendi, mangkuk, dan anglo.”

Tahun ini, timnya juga kembali menemukan struktur batu bata yang diperkirakan sebagai pembagi ruang dalam suatu bangunan dan struktur lainnya sebagai tembok pembatas kaveling permukiman. Bak sebuah kota yang agung, seluruh temuan struktur bangunan di kawasan Trowulan, memiliki kesesuaian orientasi dengan jaringan kanal kunonya, yaitu antara 5-12 derajat dari arah utara. 

Suatu siang nan menggelora di bawah pohon durian muda, Eriawati duduk beralas terpal biru ditemani segelas kopi krim panas. Dia tengah memeriksa satu per satu temuan aneka pecahan cawan dan wadah keramik. Tampaknya ramainya temuan keramik asal penjuru China, Vietnam, dan Thailand menunjukkan adanya aktivitas perdagangan internasional di kota metropolitan yang hilang itu. “Ini cawan keramik abad ke-14 dari Dinasti Yuan, Manchuria,” ujarnya sembari menunjukkan kepada saya bagian pantat cawan yang tak berglasir.

Ma Huan, salah seorang penerjemah dan ahli tafsir armada Cheng Ho, pernah menuliskan kesan­nya tentang warga Ibu Kota Majapahit da­lam naskah Ying-yai Sheng-lan atau “Survei Menyeluruh Kawasan Pantai-pantai.” Pada Maret–Juli 1432, armada itu merapat ke Jawa dan bertandang ke Majapahit di mana sang raja tinggal. Menurut Ma Huan, ada tiga golong­an warga di Majapahit: muslim yang datang sebagai pedagang dari Barat, orang Cina Dinasti T’ang yang juga muslim, dan warga pribumi yang beragama Hindhu-Buddha.

Rupanya, kerukunan hidup beragama saat itu telah terbina dengan baik. Dia juga melukiskan bagaimana orang-orang Majapahit menggemari barang-barang China seperti keramik biru, kain sutera berhias benang emas, kesturi, dan manik-manik. Bahkan, Raja Majapahit secara berkala mengirimkan utusan yang mengangkut barang-barang asal Jawa, dan mempersembahkannya kepada Kaisar di China.

Berdasarkan temuan keramik menurut periodenya, Eriawati memaparkan, bangunan-bangunan ini dihuni dalam masa yang lebih panjang sekitar abad ke-14 sampai 15. Kemudian hunian berlanjut hingga awal abad ke-16 dengan masa yang lebih singkat. Temuan lain yang tak kalah menarik di sekitar permukiman kuno itu adalah fragmen perhiasan emas dan perunggu, beberapa koin China abad ke-12, hingga potongan tulang babi dan kerbau. Kemungkinan berbagai tulang itu menunjukkan jenis satwa yang dulu disantap oleh penghuni permukiman itu.

Saya menanyakan soal bagaimana penyajian santapan zaman Majapahit kepada Lien Dwiari Ratnawati di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bilangan Sudirman, Jakarta Pusat. Sebagai Kepala Subdirektorat Perlindungan Kekayaan Budaya yang sekaligus penghobi kuliner, Ratnawati selalu menyiapkan aneka kudapan biskuit dan keripik di laci meja kerjanya.

Menurutnya, berbagai prasasti peres­mian daerah perdikan Majapahit menyebutkan jenis makanan yang disediakan dalam acara tersebut. Tak diduga, cara penyajian makanan masa itu tidak jauh berbeda dengan masa sekarang: nasi tumpeng dengan lauk-pauk; seperti daging, kerbau, kijang, babi, ayam, angsa, dan berbagai jenis ikan. Lauk diolah dengan diasinkan, diasamkan, diasap, dipanggang, hingga direbus.

“Seperti gunungan, ada sayur-sayurannya,” ungkap Ratnawati. Bahkan, tempat “makannya pakai daun pisang, sama seperti masa sekarang.” Dari prasasti peresmian daerah perdikan pula para ahli arkeologi telah mengungkap tentang sejarah hunian di Majapahit. Tiga buah prasasti tembaga pada masa Pu Sindok—lanjutan dinasti Mataram Kuno—yang ditemukan di Trowulan menunjukkan bahwa desa itu merupakan permukiman berkesinambungan sejak abad ke-10.

Bahkan, Candi Brahu dan Gentong diduga warisan dari dinasti itu. Lalu, Singhasari pada masa Kertanagara juga pernah berjejak berdasar sebuah prasasti yang memperingati penanaman pohon boddhi di Trowulan.

PENERUS SINGHASARI KELAK menentukan takhta Majapahit. Alkisah di akhir abad ke-13 tatkala Singhasari pada masa Kertanagara, terjadilah pemberontakan Jayakatwang, penguasa Kadiri yang menjadi kerajaan bawahan Singhasari. Akibat pemberontakan yang dipicu balas dendam itu Singhasari menemui kehancurannya. Namun, ada kebangkitan kembali berkat menantu Kertanagara sendiri, yaitu Raden Wijaya.

Nama “Majapahit” ditahbiskan ketika Raden Wijaya dan pengikutnya asal Madura tengah mendirikan sebuah permukiman di pinggiran Sungai Brantas, hutan orang-orang Trik. Tatkala para pengikut yang sedang membuka hutan itu kelaparan, mereka makan buah maja yang rasanya pahit. Lalu, lahirlah Majapahit menjadi nama desa.

Sumber naskah Jawa tertua yang menyebutkan daerah bernama Majapahit itu adalah kitab yang baru ditulis pada 1600, Serat Pararaton. Naskah kuno itu tidak menyebutkan Majapahit sebagai ibu kota, melainkan suatu permukiman ketika Raden Wijaya mempersiapkan perjuangannya untuk merebut kembali kejayaan Singhasari. 
Akhirnya, Raden Wijaya berhasil merebut ke­kuasaan dari pemberontak. Kemudian dia bertakhta di Ibu Kota Majapahit sebagai raja yang pertama bergelar Kertarajasa Jayawarddhana pada 10 November 1293, yang diperingati sebagai hari jadi Majapahit. Kelak dia menurunkan raja-raja Majapahit, dan raja-raja penerusnya di Tanah Jawa yang bertakhta hingga hari ini.

“Kita tidak tahu sebenarnya di mana ibu kota itu,” kata Hasan Djafar—ahli arkeologi, epigrafi dan sejarah kuno—yang pernah meneliti soal masa akhir Majapahit. Sejauh ini tidak ada sumber tertulis yang menyebutkan secara tersurat lokasi persisnya Majapahit. Namun menurut Djafar, berita Cina yang ditulis Ma Huan menyebutkan sebuah ibu kota yang terletak sisi barat daya Canggu—pelabuhan kuno di tepian Sungai Mas—sejauh berjalan kaki selama satu setengah hari. “Kalau kita perhitungkan lokasinya sekitar Trowulan sekarang,” ungkapnya.

Dari catatan Ma Huan sepertinya Majapahit telah pindah dari pinggiran Brantas ke daerah agak pedalaman, namun pelabuhan dan sungai masih merupakan jalur utama menuju kerajaan itu. Prasasti Canggu pada 1358 menyebutkan tentang tempat penyeberangan di sungai-sungai besar, seperti Sungai Brantas dan Bengawan Solo. Pertumbuhan tak hanya di daerah peda­lam­an, tetapi juga di daerah sepanjang pantai utara Jawa. Djafar berpendapat hal ini membuka peluang Majapahit menjadi kerajaan yang bukan hanya agraris, melainkan juga komersial sebagai kerajaan maritim.

Pada masa Raja Hayam Wuruk ketika Ma­japahit mencapai masa keemasannya, “Prapanca menuliskan gambaran Nusantara dengan begitu detailnya dengan menyebutkan berbagai kepulauan,” tutur Djafar. Dia mengacu pada sumber sejarah Kakawin Nagarakertagama yang sesungguhnya berjudul Desawarnana. Karya pujasastra ini digubah oleh Rakawi Prapanca pada 1365, seorang pujangga Majapahit yang kelak menjadi “pelopor sejarawan modern dan jurnalis pionir di Indonesia.”

Lalu, saya menanyakan kepada Djafar tentang sesuatu yang telah menjadi panutan umum: bahwa Majapahit mempunyai wilayah Nusantara yang teritorinya seperti Republik Indonesia. “Itu omong kosong!” ujar Djafar, “tidak ada sum­ber yang mengatakan seperti itu.” Dia meng­ingatkan, semuanya harus kembali ke sumber tertulisnya. “Wilayah Majapahit itu ada di Pulau Jawa, itu pun hanyaJawa Timur dan Jawa Tengah.”

“Sayang sekali banyak ahli sejarah menafsirkan bahwa Nusantara itulah wilayah Majapahit!” Menurutnya, makna “nusa” adalah “pulau-pulau atau daerah”, sedangkan “antara” adalah “yang lain.” Jadi Nusantara pada masa Majapahit di­artikan sebagai “daerah-daerah yang lain”—karena kenyataannya memang di luar wilayah Majapahit. Djafar berpendapat, Nusantara merupakan koalisi antara kerajaan-kerajaan yang turut bekerja untuk kepentingan bersama demi keamanan dan perdagangan regional. Mereka berkoalisi sebagai mitra satata—sahabat atau mitra dalam kedudukan yang sama. “Ja­ngan diartikan kepulauan di antara dua be­nua,” ujarnya. “Bukan pula nusa yang lokasinya di antara."

Sebagai kerajaan adidaya, Majapahit berkepentingan untuk mengamankan wilayah kerajaan-kerajaan Nusantara sebagai daerah tujuan pemasaran dan sebagai penghasil sumber daya alam untuk perdagangan. Namun demikian, sampai hari ini masih saja ada tafsir bahwa kerajaan-kerajaan itu memberikan upetinya kepada Majapahit seolah membuktikan ketundukan kerajaan-kerajaan Nusantara di bawah supremasi Majapahit.

“Tidak ada satu kata pun dalam Nagarakertagama yang bisa diartikan sebagai upeti tanda tunduk seolah menjadi negara jajahan Majapahit,” ujar Djafar. Berdasar uraian Nagarakertagama, Majapahit memang punya tradisi mengadakan suatu pesta besar setiap tahunnya. Para penguasa yang  diundang ada yang memberikan hadiah-hadiah kepada Raja Majapahit, dan  menurut Djafar hadiah itu bukanlah upeti. “Buktinya, sejak Majapahit berkuasa sampai runtuh pun daerah-daerah itu merdeka.”

Lalu mengapa sampai ada anggapan bahwa Nusantara itu adalah wilayah Majapahit? “Barangkali karena founding fathers kita ingin menyatukan negara ini,” ujar Djafar lirih. “Kemudian Muhammad Yaminmenggunakan gagasan Nusantara sebagai bentuk negara kesatuan.”

Di sebuah toko buku bekas di Jakarta, saya menemukan karya Yamin yang dimaksud Djafar. Salah satu tokoh pendiri negara Indonesia  itu pernah menulis sebuah buku Gajah Mada, Pahlawan Persatuan Nusantara yang terbit kali pertama pada 1945 dan telah dicetak ulang belasan kali. Dalam lampirannya terdapat secarik peta wilayah Republik Indonesiaberjudul “Daerah Nusantara dalam Keradjaan Madjapahit.” Tentang peta ini Djafar mengungkapkan, “gagasan persatuan ini oleh para sejarawan telah ditafsirkan sebagai wilayah Majapahit sehingga seolah ada penaklukan. Itu salahnya!”

Yamin, dalam buku itu, juga menampilkan fo­­to sekeping terakota berwujud wajah lelaki berpipi tembam dan berbibir tebal. Yamin de­ngan keyakinan ilmu firasatnya menuliskan di bawah foto sosok itu, “Gajah Mada... Rupanya pe­nuh dengan kegiatan yang mahatangkas dan air mukanya menyinarkan keberanian seorang ahli politik yang berpemandangan jauh.” Namun, belakangan saya melihat kepingan itu di Museum Trowulan, yang memiliki koleksi Maja­­pahit terlengkap. Sejatinya itu bagian dari ce­lengan kuno dan tak berkaitan de­­ngan Gajah Mada. 
Kini, sebuah patung lelaki bertubuh gempal dengan wajah seperti dalam buku Yamin itu telah berdiri di halaman Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia di Kebayoran Baru. “Itu skandal ilmiah dalam sejarah,” ujar Djafar.

SELAGI PAGI MEREBAH DI CANDI TIKUS, Gunung Penanggungan, Arjuno, Welirang, dan Anjasmoro sedang menggulung kelambu halimunnya. Saya menemani Sugeng Riyanto, seorang rekan satu tim dengan Eriawati, yang melakukan survei potensi tinggalan arkeologi sepanjang kanal Majapahit. Jaringan kanal kuno itu dipengaruhi oleh dua sungai besar yang mengapit Ibu Kota Majapahit, Sungai Brangkal dan Sungai Gunting. Keduanya mendapatkan sumber air di gunung-gunung sisi selatan dan bersama-sama bermuara di Sungai Brantas, sisi utara ibu kota.  Candi Tikus yang kami datangi merupakan salah satu bangunan air tinggalan Majapahit.

Candi Tikus sejatinya merupakan petirtaan kuno yang dibangun sekitar abad 13-14. Arsitekturnya merepresentasikan Gunung Mahameru di India. Dalam mitologi Hindu, gunung tersebut merupakan tempat suci bagi para dewa dan sumber dari kehidupan alam semesta. Pancuran-pancuran mengalirkan air yang menyimbolkan air suci amertamantana atau air kehidupan. Pada zaman kemegahannya, petirtaan ini mendapatkan air dari sisi selatan, lalu air dialirkan ke utara lewat dasar lantai ke kanal-kanal Majapahit.

Umumnya pengunjung heran mengapa dinamakan Candi Tikus. Papan informasi di dekat kantor juru pelihara akhirnya menjelaskan rasa penasaran itu. Jadi, suatu hari pada 1914 tatkala warga desa tengah membinasakan hama tikus, sebuah gundukan tanah yang diduga sarang tikus alhasil menjadi tujuan amukan warga. Ketika warga menggerataknya, tersingkaplah sebuah bangunan batu bata yang hingga kini dikenal sebagai Candi Tikus. Ah, Candi yang malang, pikir saya usai membaca riwayatnya. Pastinya dulu dia diagungkan sebagai petirtaan suci, tetapi kini dikenang dengan nama satwa pengerat nan menjijikkan.

Di sisi utara petirtaan itu Riyanto meng­ham­piri tebing tanah di pinggir sawah. Lalu, dia menunjukkan kepada saya suatu bukti bahwa daerah yang kita pijak itu dulunya bagian dari jaringan tata kelola air kuno. 
Riyanto berkata, “Lihat, lapisan pasir dan kerakal ini membuktikan bahwa di sini dulu daerah aliran air.”  
Kami merasa seperti menemukan kembali suatu kearifan lokal dari zaman Majapahit. Pemerintah kerajaan tampaknya sangat sadar dan tanggap dengan gejala alam yang dihadapinya. Lokasi kerajaan ini terletak di daerah kipas aluvial–dataran yang terbentuk dari bahan-bahan erosi lereng gunung. Ketika musim hujan, air akan meluap ke dataran sekitarnya yang lebih rendah. Sebaliknya, sungai-sungai berkurang debit airnya kala musim kemarau.

Para penata laksana Majapahit berpikir untuk merevitalisasi fungsi danau alam dan membuat jaringan kanal-kanal­—juga penampungan air baru. Jaringan itu membentang dan bersilangan sehingga membentuk bidang-bidang persegi di ibu kota itu. Lima jalur kanal melintang utara-selatan, sementara tujuh lainnya membujur barat-timur yang salah satunya berujung di petirtaan Candi Tikus. Menurut Riyanto, jika ruas-ruas jalur kanal itu dirangkaikan, panjangnya bisa mencapai sekitar 26 kilometer! “Majapahit memang dikenal jago dalam manajemen teknologi air.”
Saat ini kenampakan jalur-jalur kanal itu memang tak seindah dan tak sekentara peta ha­sil survei Riyanto.

Kini, bekas jaringan kanal itu telah menjelma menjadi sawah, permukiman, kebun tebu, dan lapangan parkir situs perma­kaman muslim zaman Majapahit. “Kita perki­rakan kanal-kanal itu awalnya berukuran delapan sampai lima belas meter lebarnya,” ujarnya, “sekarang sudah ada yang mencapai enam puluh hingga tujuh puluh meter.”
Hal yang membuat saya terpesona, sebuah kolam raksasa berdinding batu bata tinggalan Majapahit masih bisa disaksikan hingga sekarang. “Segaran” demikian warga menyebutnya, yang bermakna laut buatan. Luas kolam itu 6,5 hektare atau enam kali lapangan sepak bola! “Mungkin itu adalah kolam artifisial terbesar di dunia,” ungkap Riyanto.

Bagaimana membuktikan bahwa jaringan kanal-kanal di Trowulan itu berasal dari zaman Kerajaan Majapahit? 
Menurut Riyanto, arah orientasi jaringan kanal-kanal kuno itu sama persis dengan arah bangunan zaman Majapahit. Hasil survei di jalur kanal juga tidak menunjukkan adanya temuan arkeologis. “Kanal dibangun awal, kemudian bangunan menyesuaikan.”

Riyanto juga menolak anggapan bahwa kanal-kanal tersebut dibangun pada masa Hindia Belanda. Dia berpendapat bahwa saluran irigasi yang dibangun Belanda untuk perkebunan tebu sekitar Trowulan itu sebetulnya melanjutkan fungsi kanal-kanal kuno. “Sekecil apapun ba­ngunan yang dibuat Belanda pasti ada arsipnya,” kata Riyanto bersemangat. Namun, “kanal-kanal ini tidak ada arsipnya sama sekali di Belanda.”

Dugaan bahwa kanal-kanal tersebut tinggalan Majapahit diperkuat dengan uraian Prapanca dalam Nagarakertagama. Sang pujangga itu menggambarkan Keraton Majapahit pada pupuh VIII: “Tersebut keajaiban kota, tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari pura. Pintu Barat bernama Pura Waktra, menghadap lapangan luas , bersabuk parit.”  Menurut Riyanto, kata-kata “tembok batu merah” dan “bersabuk parit” itu mengisyaratkan perwujudan kanal di bagian Kota Majapahit.

Pernyataan pertama yang menunjukkan jalur-jalur kanal kuno itu dicetuskan oleh Karina Arifin pada 1983, kini ahli arkeologi di Universitas Indonesia. Berdasar citra foto udara awalnya jalur-jalur itu ditafsirkan sebagai jalan raya, namun pengamatannya di lapangan membuktikan bahwa itu adalah bekas jalur kanal. Buktinya, Arifin menemukan tumpukan batu bata kuno yang diduga adalah dinding penguat kanal. Selain itu, letaknya lebih rendah daripada permukiman. ”Setelah dibor sampai empat meter ternyata itu lapisan sedimentasi,” kenang Arifin. ”Jadi dulunya itu mestinya kanal, bukan pengerasan jalan.”

Next >>

sumber : nationalgeographic.co.id

1 comment: